Thursday, November 12, 2015

JANE X: PLUTON CARNAGE – CHAPTER 3 (ORIGINAL SERIES)

 

3

Fan fiction by: Dave Cahyo

WARNING: UNTUK DAPAT MEMAHAMI CERITA INI, KALIAN HARUS TERLEBIH DAHULU MEMBACA SERI JEFF THE KILLER YANG MEMUAT TOKOH JANE THE KILLER, YAKNI “VOW OF REVENGE” DAN “TRIUMPH OF EVIL”

***

 

“Ada pesawat yang menabrak kapal Nocturna?” bisik Marco dalam hati. Apa yang dirahasiakan Alaric? Kenapa ia tak memberitahukan hal ini kepadanya sebelumnya?

Langkah Marco di lorong kapal terhenti ketika ia mendengar suara percakapan antara Alaric dan Talia. Ia bersembunyi di balik dinding, menguping pembicaraan mereka.

“Aku tak mengkhawatirkan kapal yang menabrak Recounquista, Komandan Alaric,” tukas Talia, “Namun aku lebih mengkhawatirkan kargo yang dibawa Kapten Abram.”

“Katamu menurut komunikasi terakhir dengan Reconquista, mereka telah menjatuhkan kargo itu ke atas Pluto? Lalu apa yang kau khawatirkan?”

“Itu bukan perintah kami, Komandan!” Talia terdengar marah, “Kargo itu seharusnya dibawa ke Zarmina untuk diteliti. Namun Kapten Abram melanggar perintah kami!”

“Tentu saja! Aku akan melakukannya juga jika aku menjadi dia!” balas Alaric, “Kau membahayakan jiwa banyak orang!”

“Jangan kacaukan misi ini, Komandan!” ancam Talia, “Lakukan saja tugasmu dan aku akan melakukan tugasku.”

“Baiklah!” kata Alaric dengan tegas, “Namun aku takkan membantumu menangkap pembunuh itu.”

Pembunuh?” pikir Marco, “Pembunuh apa?”

***

 

“Dengan siapa kau berbicara, Nona?”

Nocturna menoleh. Danis, Mara, dan Galanthis rupanya telah terbangun.

“Ah, maaf. Kau tak bisa melihatnya.” ucap Nocturna, “Dia adalah asisten hologramku. Marco yang membuatkannya untukku. Aku menamakannya Mr. B.”

“Robot hologram?” tanya Mara kagum, “Keren!”

“Omong-omong apa kalian tadi berjalan dari kapal kalian ke sini?”

“Berjalan? Idih,” erang Galanthis, “Suhu es di luar sana minus 200 derajat celcius. Aku jelas tak mau menginjaknya.”

“Tidak, Nona.” jawab Danis, “Kami menggunakan jet-pack. Ada apa memangnya?”

“Kalian terbang? Berarti bukan kalian yang meninggalkan jejak kaki itu di luar?” tunjuk Nocturna.

***

 

“Kami telah berhasil menemukan lokasi kapal Reconquista.” ujar Dokter Miranda.

Marco bergegas menatap ke layar utama. Inilah kabar baik yang selama ini ia tunggu-tunggu. “Dimana mereka?”

“Seperti dugaanku, di Lembah Anubis.” tunjuk Dokter Miranda. Marco menarik napas lega ketika melihat kapal itu ternyata masih utuh.

Alaric menepuk bahu Marco, “Sudah kubilang kan kapal itu salah satu kapal terkuat yang pernah dibuat manusia.”

“Aku tak bisa mendarat di sana.” ujar Gordonus, sang pilot. “Gelombang elektromagnet planet ini mengacaukan sistem penerbanganku. Aku hanya bisa mendarat sejauh tebing yang berada di atas lembah itu.”

“Tak masalah,” ujar Marco yang berpengalaman melakukan misi penyelamatan di planet-planet dengan kondisi tak bersahabat seperti Pluto, “Kami bisa meneruskan perjalanan dari sana.”

“Baiklah. Aku, Marco,dan Dokter Miranda akan turun ke sana.” kata Alaric. “Yang lain menunggu di kapal.”

“Tidak!” bantah Dokter Talia, “Aku akan ikut.”

***

 

“I ... itu pasti alien ...” Galanthis bergidik ngeri.

“Galanthis, Sayang ...” Mara memutar-mutar bola matanya, “Berapa kali harus kubilang, tak ada alien di jagad raya ini. Manusia sudah menjejajahi tak terhitung banyaknya planet dan tak pernah menemukan makhluk hidup lain kecuali bakteri di Europa.”

“Ini aneh sekali ...” matanya terasa tersihir menatap jejak kaki itu. “Apa masih ada orang di luar sana?”

“Mustahil, Nona.” kata Danis, “Hanya ada kami bertiga di pesawat Xibalba. Dan aku yakin, tak ada manusia yang sanggup hidup di sini.”

“Lalu jejak kaki siapa itu?” Nocturna makin bingung.

“Hanya ada satu cara untuk mengeceknya,” ujar Danis, “Aku akan keluar ke sana.”

“Apa kau gila???” seru Galanthis.

“Jika memang benar ada orang di luar sana, ia bisa menolong kita semua. Aku akan memeriksanya.” kata Danis sambil mengenakan baju luar angkasanya.

***

 

Pesawat SAR itu sebenarnya mendarat tak jauh dari Reconquista. Namun mereka harus menuruni Lembah Anubis untuk mencapainya. Marco, Alaric, Dokter Miranda, dan Dokter Talia menuruni pesawat dan menginjakkan kaki ke atas bebatuan yang diselimuti salju berwarna keperakan.

“Kita gunakan jet-pack!” ujar Marco lewat radio, “Mustahil berjalan di salju sedingin ini. Kaki kita bisa langsung membeku.”

Marco dan yang lainnya segera menuruni lembah kematian itu dengan jet-pack menyala di punggung mereka. Dalam hati ia meragukan keberadaan Talia akan membantu mereka. Marco jelas diperlukan karena pengalamannya menangani misi penyelamatan. Alaric adalah tentara dengan kemampuan bertarung yang tangguh. Miranda adalah dokter sekaligus peneliti yang bisa membantu mereka menghadapi kejamnya kondisi alam Pluto serta membantu pengobatan para korban selamat. Namun Talia, apa kegunaannya di sini? Lagipula Marco masih merasa ada yang masih disembunyikan manusia androgyni tersebut.

Marco menoleh perlahan. Sekilas ia melihat seperti ada sekelebatan bayangan yang bergerak menuju pesawat.

“Ada apa Marco?” tanya Alaric dalam radio.

“Entahlah, Alaric.” jawab Marco, “Sepertinya aku melihat sesuatu bergerak.”

“Mungkin longsoran salju,” ucap Miranda, “Tak ada kehidupan di planet ini.”

“Kurasa begitu.” Marco kembali menghadap ke depan.

“Baiklah, Gordonus,” ujar Alaric, “Kau bisa menutup pintu pesawat!”

***

 

Gordonus menyalakan musik sambil menatap keempat anggota tim penyelamat itu menuruni lembah. Ia duduk bersandar di kursi pilot sambil mengangkat kakinya dan menaruhnya di meja kokpit.

“Huh, dasar misi sial!” kutuknya dalam hati. Gara-gara ada misi ini ia harus membatalkan liburannya di Loki Patera. Ia malah harus menghabiskan waktunya di planet dingin ini.

Gordonus kembali menghisap peyote-nya. Ia sudah begitu kecanduan dengan narkotik ini hingga kesulitan untuk berhenti, walaupun sudah banyak orang yang mengingatkannya.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu di dalam layar. Asalnya dari kamera pengaman yang ada di lorong pesawat.

Ada seseorang yang berjalan di koridor pesawat.

“Mustahil!” pikir Gordonus, “Bukannya tinggal aku yang ada di pesawat ini?”

Pria itu kemudian tertawa begitu menyadarinya, “Astaga ... ini pasti halusinasi gara-gara aku terlalu banyak menghisap peyote. Apa aku harus berhenti ya? Ah biarlah, mumpung tak ada orang di kapal ini.”

Gordonus melanjutkan kebiasaan buruknya, tanpa sadar pintu yang ada di belakangnya terbuka. Tanpa ia ketahui, ada sesuatu yang mengintainya dari belakang.

Gadis itu mengangkat pisaunya dan dengan cepat menyayat leher pilot itu.

 

TO BE CONTINUED

1 comment: